Di sebuah shopping arcade di pusat kota Kyoto , saat sedang menikmati segelas cappucino sambil mengamati orang berbelanja, tiba-tiba saya dikejutkan suara keras tangisan anak kecil.
Rupanya ada gadis kecilberumur 4 tahunan tersandung dan jatuh. Lututnya berdarah. Kami heranketika melihat respons ibunya yang hanya berdiri sambil mengulurkan tangan ke arah gadis kecilnya tanpa ada kemauan untuk segera meraih anaknya. Cukup lama.
Beberapa menit adegan ini berlangsung. Si ibu tetap sabar dan keras hati untuk menunggu anaknya menyelesaikan sendiri rasa shock dan sakitnya. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya si gadis kecil mulai berusaha berdiri lagi, dan dengan bantuan kecil tangan ibunya dia kembali berdiri. Masih sambil terisak-isak ia pun berjalan lagi.
Dalam benak saya waktu itu, kok tak punya hati ibu si gadis kecil ini?Tega membiarkan anaknya dalam kondisi kesakitan. Ingatan langsung terbangke Indonesia . Jika kejadian yang sama terjadi di kota Jakarta ataupun Yogyakarta, saya yakin si ibu pasti akan langsung meraih dan menggendong untuk menenangkan anaknya.
Dari adegan itu, bisa kita bayangkan perbedaan cara pengasuhan anak Jepang dan anak Indonesia. Dari pengamatan saya selama hampir setahun tinggal di Jepang, anak Jepang cenderung dibiasakan dari kecil untuk mengatasi berbagai kesulitan sendiri, sementara anak Indonesia selaludi sediakan asisten untuk mengatasi kesulitannya.
Babysitter atau pembanturumah tangga pun tidak ada dalam kebiasaan keluarga-keluarga di Jepang.Sebaliknya di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta ,Bandung , Yogyakarta dan lain-lain kehadiran mereka wajib ada sebagaiasisten keluarga maupun sebagai asisten anak-anaknya.
Dalam sebuah studi perbandingan yang dilakukan oleh Heine, Takata dan Lehman pada tahun 2000 yang melibatkan responden dari mahasiswa Jepang dan mahasiswa Kanada dinyatakan bahwa mahasiswa Jepang lebih tidak pedulidengan inteligensi dibandingkan orang Kanada. Hal ini disebabkan orang Jepang lebih menghargai prestasi didasarkan pada usaha keras daripada berdasarkan kemampuan inteligensi. Artinya, bagi orang Jepang kemauan untuk menderita dan berusaha keras menjadi nilai yang lebih penting daripada kemampuan dasar manusia seperti inteligensi.
Dalam keseharian dengan mudah kita dapat menyaksikan mereka selaluberjalan dalam ketergesaan karena takut kehilangan banyak waktu, disiplindan selalu bekerja keras. Suasana kompetitif dan kemauan untuk menjadi yang lebih baik (yang terbaik) sangat menonjol.
Studi ini juga menemukan bahwa orang Jepang memiliki budaya kritik diri yang tinggi, mereka selalumencari apa yang masih kurang di dalam dirinya. Untuk kemudian merekaakan segera memperbaiki diri.
Lain lagi Indonesia , yang saat ini terjebak dalam kesalahan umum di manahasil akhir menjadi segala-galanya. Hasil akhir lebih dihargaidibandingkan usaha keras. Tengok saja kompetisi yang terjadi dari anak usia sekolah tingkat SD hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan nilai kelulusan yang tinggi. Guru, orang tua maupun masyarakat umum selalu menekan anak untuk mendapatkan nilai kelulusan yang tinggi sehingga mereka pun menghalalkan segala cara.
Kita baca di koran polisi menangkap para guru karena berlaku curang dalam ujian nasional, sementara di tempat lain orang tua membeli soal ujian, siswa menyontek dan lain sebagainya.
Pola pengasuhan ini, pada gilirannya pasti berperan besar dalampembentukan karakter anak dalam perkembangan berikutnya. Oleh karenanya,memberi kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengembangkan semuapotensinya adalah satu prinsip dasar dari satu pola pengasuhan yangsangat baik bagi pembentukan karakter anak.
Orang tua, asisten, atau punorang yang lebih dewasa jangan mengambil alih tanggung jawab anak.Sebagai contoh, beri kesempatan pada anak untuk belajar makan secara benar dengan tangannya sendiri sejak dia mampu memegang sendok. Jangan diambil alih hanya karena alasan akan membuat kotor. Atau beri kesempatanpada anak untuk menghadapi dunia sekolah pertama kali tanpa banyak intervensi dari pengasuh maupun orang tua.
Memberi rasa aman pada anak memang penting jika diberikan pada saat yang tepat. Tetapi menunggui anak selama dia belajar di sekolah adalah pemberian rasa aman yang tidakperlu. Momen ini adalah momen penting bagi anak untuk belajar menghadapidunia di luar rumah tanpa bantuan langsung orang-orang di sekitarnya.Pengalaman anak merasa mampu menghadapi persoalan dengan kemampuannyasendiri akan menumbuhkan kepercayaan diri.
Oleh karena itu, orang tuasebaiknya membatasi diri hanya menjadi partner diskusi yang membantuanak menemukan berbagai kemungkinan solusi. Orang tua kadang harus berteguh hati membiarkan anak mengalami rasa sakit, menderita, dan rasatertekan dalam isi dan porsi yang tepat, karena hal itu akan sangat baik untuk perkembangan mental anak.
Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan hidup dantidak mudah menyerah. Hargai anak bukan dari hasil akhirnya melainkandari proses perjuangannya. Anak perlu diberi pembelajaran (dan juga orangtua perlu belajar) untuk bisa menikmati dan menghargai proses, meskipunproses seringkali tidak nyaman.
Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi,Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment
Silahkan Komentar